Kamis, 26 Agustus 2010

LEBARAN DOBEL DI LIHAT DARI SUDUT LOGIKA

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:qvx4K15AXWPQ9M:http://img527.imageshack.us/img527/4757/79665117rf7.jpg&t=1
Selama ini sebagian besar umat Islam Indonesia menerimanya. Kalau terjadi lebaran ganda maka penganut Muhammadiyah yang mengunakan perhitungan (hisab) akan berlebaran awal dan bagi yang menggunakan pengamatan bulan (rukyat) berlebaran di hari kedua. Dan kedua-duanya dianggap benar. Bagi kami yang berpegang pada logika, tidak bisa menerima bahwa 1 Syawwal ada 48 jam. Dan juga tidak mungkin kedua pendapat misalnya kubu hisab dan kubu rukyat sama-sama benar.

Sumber kesalahan ini tentunya bukan berasal dari metodology hisab dan rukyat. Hisab walaupun dikatakan sebagai cara perhitungan, akan tetapi untuk memperoleh rumus empiris itu dasarnya adalah pengamatan yang berlangsung lama. Jadi kedua metoda ini seharusnya memberikan hasil yang sama.


Dasar Penentuan Awal dan Akhir Ramadan
Penetapan akhir dan awal puasa (1 Syawwal dan 1 Ramadhan) adalah berdasarkan ayat Quran berikut ini:

Al-Baqarah 189:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji......”

(kata: tanda-tanda waktu kami beri tekanan)

Dalam ayat ini tidak disebutkan secara spesifik metode apa yang harus digunakan. Oleh sebab itu ayat al-Baqarah ini menjadi syarat cukup untuk bagi metode rukyat dan hisab (perhitungan).

Sebagai petunjuk pelakasaannya pada jaman Rasullulah adalah hadist an-Nasai dari Abdullah ibn Umar:
“Bulan ada yang 29 hari dan 30 hari. Jika kamu melihat hilal (bulan baru) maka berpuasalah dan kalau kamu melihat hilal, ber-Iedul Fitrilah. Jika terhalang awan, maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari”

Hadist ini diklaim sebagai dalil pendukung cara rukyat. Di pihak lain hadist di atas juga tidak membatalkan metode hilal karena pada masa itu umat Islam hanya mengenal cara rukyat. Cara hisab belum berkembang. Juga dari dalil hadist di atas, jelas bahwa 1 Syawwal bukan 2 hari.

Saya ingin mengomentari hadist di atas bahwa kata “melihat hilal” harus diartikan lebih luas dan berlaku untuk metode-metode lain. Karena pada saat itu umat Islam hanya mengenal pengamatan dengan mata. Jadi secara umum hadist itu mengatakan bahwa Iedul Fitri adalah pada saat hilal telah wujud. Kalau metode untuk menetapkan hilal itu gagal (misalnya untuk rukyat terhalang awan atau matahari terlalu terang sehingga bulan menjadi kabur/tidak nampak), maka dianjurkan untuk menjadikan bulan Ramadan 30 hari.

Lebih spesifik, cara hisab ditunjang oleh beberapa ayat al-Quran yang berbunyi seperti ayat 33 al-Anbiyaa ini:

“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.”

Bagi mereka yang ahli dalam menghitung peredaran bulan dan matahari serta siklus bulan, maka penampakan hilal dapat diramalkan dengan akurat.

Siklus Bulan, 1 Syawwal dan Maklumat Muhammadiyah
Dalam penentuan 1 Syawwal, Muhammadiyah menggunakan metoda perhitungan (hisab). Metoda ini asalnya juga berdasarkan pengamatan yang lama, bukan hasil rekaan semata. Akurasinyapun tinggi. Jadi hampir mustahil salah, kecuali kalau ada kekilafan memasukkan angka. Bahwa 1 bulan terkadang 29 hari dan kadang kala 30 hari dikarenakan lamanya peredaran bulan mengelilingi bumi dan membuat siklus dari bulan- baru (hilal) ke bulan-baru berikutnya tidak genap 29 hari, melainkan 29 hari 12 jam 44 menit 2.8 detik atau 29.530589 hari. Sehingga kadang kala perlu adanya koreksi yaitu dengan menambahkan 1 hari. Angka perkiraan lamanya siklus dari satu hilal ke hilal berikutnya 29.530589 hari cukup akurat ditandai dengan 8 angka.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai metode yang dilakukan oleh Muhammadiyah, bisa diperoleh dengan men-down load Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah no. 3/MLM//I.0/E/2007 mengenai penetapan 1 Syawwal dari situs ini:

http://www.muhammadiyah.or.id/downloads/Maklumat_Penetapan_1_Syawal_1428H.pdf

Kami menganjurkan untuk men-down load-nya dan mempelajari isinya yang cukup berbobot.

Isu Utama dan Isu Minor
Sepanjang pengamatan kami, ada isu yang dihembuskan sebagai isu utama sebagai sumber perbedaan dalam menyimpulkan akhir/awal Ramadan, yaitu masalah definisi hilal. Isu ini minor karena kesepakatan dapat dilakukan dengan mudah jika kedua pihak-pihak yang berbeda pendapat ini keluar dan melihat hilal secara langsung dan sepakat benda itulah yang disebut hilal. Isu yang lebih utama lagi sebenarnya adalah prinsip kesatuan wilayatul hikmi. Secara kenyataan bahwa Indonesia tahun ini akan mempunyai dua zona penampakan hilal. Ini akan menimbulkan persoalan bukan saja bagi kubu hisab tetapi juga kubu rukyat kalau metodanya menggunakan prinsip kesatuan wilayatul hukmi. Lalu bagaimana menyatukannya? Apakah 1 Syawwal mengikuti daerah yang sudah ada penampakan hilal atau harus tunggu sampai semua daerah sudah ada penampakan hilal? Apapun keputusannya hasil akhirnya akan bersifat “tanpa dasar yang logis” (arbitrary). Jangan heran kalau pendapat ulama, bahkan imam mazhab berbeda-beda. Menurut Imam Hanafi dan Maliki, kalender kamariah harus sama di dalam satu wilayah hukum suatu negara, inilah prinsip wilayatul hukmi. Sedangkan menurut Imam Hambali, kesamaan tanggal kamariah ini harus berlaku di seluruh dunia, di bagian bumi yang berada pada malam atau siang yang sama. Sementara itu, menurut Imam Syafi'i, kalender kamariah ini hanya berlaku di tempat-tempat yang berdekatan, sejauh jarak yang dinamakan mathla'. Inilah prinsip matlak madzhab Syafi'i.

Yang menarik adalah pendapat Ibn Abbas, salah satu ulama yang pernah hidup di masa Rasullulah. Riwayat Kuraib yang diceritakan oleh Muslim bahwa Khalifah Mu'awiyyah di Damaskus shaum/puasa pada hari Jumat sementara Ibnu Abbas di Madinah shaum/puasa pada hari Sabtu. Ketika Kuraib bertanya kepada Ibnu Abbas kenapa tidak berbarengan saja dengan Mu'awiyyah, Ibnu Abbas r.a. menjawab : "Tidak, beginilah Rasulullah saw, telah memerintahkan kepada kami". Yang dimaksud oleh Ibnu Abbas tentu saja hadist nabi saw yang dikutip di atas. Padahal Damaskus dan Madinah waktu itu masih dalam satu wilayah hukum/satu kekhalifahan.

Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada ayat al-Quran atau hadist yang bisa dikatakan memenuhi persyaratan cukup untuk menunjang konsep prinsip kesatuan wilayatul hukmi Ada hadist yang kadang diajukan sebagai dalil untuk penerapan prinsip kesatuan wilayatul hukmi, yaitu:

Bahwa seorang Arab Baduwi datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “Saya telah melihat hilal (Ramadhan)”. Rasulullah saw. lalu bertanya: “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?” Orang itu menjawab,'Ya.' Kemudian Nabi SAW menyerukan: “Berpuasalah kalian” (HR. Abu Dawud, An Nasa`i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

Tetapi hadist ini tidak bisa memenuhi syarat cukup sebagai dasar argumen untuk penerapan prinsip kesatuan wilayatul hukmi. Dalam hadist ini tidak disebutkan adanya isu perbedaan zona penampakan hilal. Apakah orang badui ini melihatnya di tempat yang jauh dari Madinah (tempat tinggal rasullulah) yang memungkinkan adanya perbedaan zone penampakan hilal? Tidak ada penjelasan

Dengan kata lain, dasar hukum penggunaan prinsip kesatuan wilayatul hukmi tidak ada mempunyai persyaratan yang cukup. Para mazhab tidak punya kesamaan dan tidak diatur dalam hadist atau al-Quran.

Prinsip Kesatuan Wilayatul Hukmi dan Problemanya
Terlalu sedikit aturan membuat suatu perkara menjadi fleksibel, tetapi kebanyakan aturan membuat penerapannya perkara tersebut mandeg, karena aturan-aturan itu saling berbenturan. Itu hukum alam.

Menambah prinsip kesatuan wilayatul hukmi dalam menentukan awal bulan Syawwal akan menimbulkan benturan dengan aturan lain. Dengan mengatakan bahwa wilayah timur garis batas wujdul-hilal sudah memasuki 1 Syawwal berarti prinsip kesatuan wilayatul-hukmi telah membatalkan hadist dan al-Quran. Karena secara kenyataan, insya Allah, daerah itu belum terjadi penampakan hilal, baik secara hisab atau rukyat. Dari segi hukum Islam tingkat hadist sahih lebih tinggi dari pendapat ulama, sehingga pendapat ulama tidak bisa membatalkan hadist dan Quran. Argumen di atas sudah menjadi syarat cukup untuk membatalkan penggunaan prinsip kesatuan wilayatul-hukmi dalam penentuan 1 Syawwal.

Bagi orang awam kaidah logika, seperti istilah syarat cukup (sufficient condition) sering tidak dipahami oleh sebab itu kami tunjukkan kelemahan prinsip kesatuan wilayatul-hukmi dengan pertanyaan hipotetikal. Andaikata suatu masa di hari ke 29 Ramadan bagian penampakan hilal (bagian barat garis batas wujdul-hilal) hanya 1% dari wilayah indonesia, misalnya hanya Serang dan Ujung Kulon, dan 99% belum masuk daerah penampakan hilal, apakah wilayah yang 99% ini harus ikut yang 1%? Apakah minoritas harus ikut mayoritas mutlak?

Wilayah negara tidak selalu kontinu. Banyak yang terpecah-pecah. Bangladesh, yang dulu dikenal sebagai Pakistan Timur, dipisahkan dari Pakistan Barat (Pakistan sekarang) oleh India. Amerika Serikat mempunyai wilayah terpisah seperti Hawaii, Alaska (ada perbedaan waktu 4-5 jam dengan USA daratan). Inggris mempunyai Falkland didekat kutub selatan yang sangat jauh dari kepulauan Inggris Raya (dekat dengan kutub utara). Apakah negara-negara ini akan diberlakukan prinsip kesatuan wilayatul hukmi?

Kami tidak bisa membayangkan kalau prinsip kesatuan wilayatul-hukmi diberlakukan untuk waktu sholat. Waktu magrib dimulai ketika matahari terbenam di Jayapura, Marauke, Digul dan masih terang benderang di Jakarta, Sabang, Banda Aceh. Sholat magrib di Jakarta pada saat matahari masih terang benderang? Oleh sebab itu prinsip kesatuan wilayatul-hukmi, kubu manapun yang menggunakannya, baik hisab atau rukyat atau pemerintah, tidak bisa dibenarkan secara ilmu logika dan hukum syariat.


Kesimpulan dan Penyelesaiannya
Pertama harus diakui bahwa tidak benar cara hisab dan rukyat adalah isu utama dari perbedaan hasil penentuan 1 Syawwal.

Kedua harus diakui bahwa prinsip kesatuan wilayatul-hukmi adalah salah tempat dan salah applikasi. Prinsip kesatuan wilayatul-hukmi sebagai opini ulama, tidak bisa membatalkan hadist untuk menentukan akhir puasa (shaum) atau al-Quran untuk menentukan tanggal. Oleh sebab itu di Indonesia yang wilayahnya membentang sangat lebar (5,271 km) dan luas (1,919,440 km persegi) tidak mungkin selalu diberlakukan 1 hari Lebaran, tanpa melanggar juklak dari rasullulah (hadist nabi) dan pedoman al-Quran. Kadang-kadang Lebaran di Jakarta dan di Menado berbeda. Seperti halnya waktu sholat, waktu puasa dan Iedul Fitri tidak perlu sama untuk semua wilayah republik Indonesia.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai penyampaian informasi dan pendidikan.